JAKARTA: Perusahaan tekstil terkemuka di Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang pada Senin, 21 Oktober 2024. Keputusan tersebut, yang terdaftar dalam perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, membawa dampak besar terhadap industri tekstil nasional dan para pemangku kepentingan terkait.
Sebagai respons, Sritex mengajukan kasasi untuk melawan putusan tersebut. Langkah ini diambil guna melindungi kepentingan kreditur, pelanggan, karyawan, dan pemasok yang telah mendukung perusahaan selama lebih dari setengah abad. “Kami menghormati putusan hukum dan telah mendaftarkan kasasi untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik,” tulis Sritex dalam keterangan resmi pada Jumat, 25 Oktober.
Selama 58 tahun, Sritex telah menjadi bagian penting dari industri tekstil Indonesia. Sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, Sritex tidak hanya menyumbang pada perekonomian lokal di Solo Raya dan Jawa Tengah, tetapi juga memiliki dampak signifikan pada skala nasional. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 14.000 karyawan secara langsung, dengan total 50.000 pekerja dalam grup Sritex, dan mendukung banyak usaha kecil dan menengah yang bergantung pada aktivitasnya.
Sayangnya, keputusan pailit ini menciptakan ketidakpastian bagi ribuan pekerja dan stakeholder lainnya. Pemerintah pun bergerak cepat. Presiden Prabowo Subianto menugaskan beberapa kementerian, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Tenaga Kerja, untuk mengkaji opsi penyelamatan Sritex. “Presiden sudah memerintahkan kajian mendalam untuk menyelamatkan Sritex agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, turut meninjau langsung situasi di pabrik Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dalam kunjungannya pada 15 November, Noel, sapaan akrabnya, memastikan bahwa perusahaan tidak melakukan PHK, melainkan merumahkan sejumlah pekerja karena kendala bahan baku. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan berada di garda depan untuk melindungi hak-hak pekerja.
Namun, langkah kasasi yang diajukan Sritex tidak membuahkan hasil. Mahkamah Agung menolak kasasi tersebut pada 19 Desember 2024, sehingga status pailit tetap berlaku. Putusan ini memperumit situasi Sritex, dengan berbagai pihak kini menunggu langkah selanjutnya dari perusahaan dan pemerintah.
Meski ada kabar bahwa Sritex mendapatkan pembiayaan revitalisasi mesin dengan skema subsidi bunga sebesar 5%, Noel memilih tidak banyak berkomentar. “Mumet juga gua soal Sritex. Nanti lama-lama juga tahu,” ujarnya kepada wartawan.
Kasus ini menjadi pengingat tentang pentingnya dukungan yang berkelanjutan untuk industri tekstil di Indonesia. Dengan sejarah panjang dan kontribusi besar Sritex, banyak pihak berharap bahwa jalan keluar terbaik dapat ditemukan demi keberlangsungan sektor tekstil, nasib para pekerja, dan perekonomian nasional.