JAKARTA: Ketua DPD PDIP Jawa Tengah, Bambang Wuryanto, atau Bambang Pacul, menyebutkan bahwa hubungan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Prabowo Subianto terjalin baik. Hal ini disampaikan saat menanggapi ucapan terima kasih Megawati kepada Prabowo atas pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang memulihkan nama Bung Karno terkait tuduhan keterlibatan dalam peristiwa G30S.
“Hubungan Bu Mega dan Pak Prabowo selama ini bagus. Tentu ucapan terima kasih itu menunjukkan hal tersebut,” ujar Bambang Pacul di Kantor DPD PDIP Jateng, Semarang, Jumat (10/1/2025).
Namun, Bambang Pacul, yang juga menjabat Wakil Ketua MPR RI, enggan berspekulasi apakah ucapan itu menjadi sinyal PDIP akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo. “Apakah itu kode atau tidak, Ibu Mega yang tahu. Tidak ada kode itu tadi,” katanya.
Ia menambahkan, komunikasi yang baik menunjukkan hubungan yang erat. Dalam konteks politik, komunikasi adalah hal utama. Bambang Pacul mencontohkan diskusi antara Megawati dan Prabowo, seperti pembahasan program makan gratis Rp10 ribu. “Ibu Mega bahkan menyebut Pak Prabowo dengan panggilan akrab ‘Mas Bowo’,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam peringatan HUT PDIP ke-52 di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Megawati mengucapkan terima kasih kepada pimpinan MPR dan Presiden Prabowo Subianto. Ia menyebut pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 sebagai momen bersejarah setelah perjuangan panjang sejak 1967.
“HUT PDIP ke-52 ini sangat istimewa. Setelah perjuangan selama 57 tahun, akhirnya TAP MPRS tersebut dinyatakan tidak berlaku. Ini berkat kehendak Allah SWT dan keputusan pimpinan MPR,” ujar Megawati.
Megawati juga menegaskan bahwa tidak ada bukti hukum yang menunjukkan keterlibatan Bung Karno dalam G30S hingga beliau wafat pada 1970. “Ini adalah politisasi. Atas nama keluarga Bung Karno dan PDIP, saya menyampaikan terima kasih kepada pimpinan dan anggota MPR periode 2019-2024,” tutupnya.
Posisi Sulit Prabowo
Harus diakui, tak mudah bagi Prabowo untuk bersikap hitam-putih kepada Jokowi dan Megawati di tengah “perseteruan” atau ketegangan hubungan di antara Presiden ke-7 RI itu dengan Ketua Umum PDIP yang juga Presiden ke-5 RI tersebut.
Di satu sisi, Prabowo punya “hutang budi” politik dengan Jokowi, yang telah memberikan “endorsement” dan dukungan penuh pada Pilpres 2024, sehingga dirinya bisa meraih kemenangan telak satu putaran di angka 58%. Pun sosok Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai cawapres pendampingnya diyakini menjadi faktor yang menarik banyak pemilih di kalangan Gen Z untuk memberikan suara kepada Prabowo.
Namun, Prabowo juga punya riwayat hubungan yang baik dengan Megawati. Bahkan Prabowo pernah menjadi cawapres pendamping capres Megawati saat Pilpres 2009 yang dimenangkan pasangan SBY-Boediono. Di sisi lain, Megawati adalah ketua umum partai besar yang di Pemilu 2024 kembali menempati urutan pertama peraih suara terbanyak dan kursi terbanyak di DPR RI. Menjaga hubungan baik dengan Megawati tentu saja merupakan kebutuhan politik bagi Prabowo untuk menjaga stabilitas pemerintahannya.
Dengan uraian singkat tersebut, tidak mudah bagi Prabowo untuk mengambil sikap yang memperlihatkan pemihakan tegas terkait dengan perseteruan nyaris telanjang antara Jokowi dan Megawati. Tapi, pada titik tertentu, jika perseteruan antara Jokowi dan Megawati kian mengeras, mau tak mau, suka tak suka, Prabowo sebagai tokoh politik sentral saat ini dipaksa oleh situasi untuk mengambil sikap politik tertentu yang bisa berujung dan dikesankan entah mendukung Jokowi atau Megawati…