JAKARTA: Eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyoroti keputusan Galeri Nasional yang membatalkan pameran lukisan Yos Suprapto pada Kamis, 19 Desember. Pembatalan ini diduga karena seniman tersebut menolak permintaan kurator untuk mencabut lima dari total 30 lukisan yang telah ia persiapkan selama setahun.
Mahfud menyampaikan kritiknya melalui akun media sosial X (sebelumnya Twitter) @mohmahfudmd pada Jumat, 20 Desember. Menurutnya, alasan teknis yang dikemukakan Galeri Nasional hanyalah dalih, sementara keputusan tersebut secara praktis berarti pembatalan pameran. Ia menegaskan bahwa karya seni, termasuk lukisan, adalah bentuk ekspresi yang seharusnya dihormati.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh advokat senior Todung Mulya Lubis. Dalam keterangan tertulis, Todung menyesalkan pembatalan pameran yang ia ketahui saat berkunjung ke Galeri Nasional. Ia mendapatkan informasi dari seorang pengunjung lain bahwa pameran batal karena pihak Galeri Nasional meminta lima lukisan diturunkan.
Todung mengungkapkan bahwa lima karya tersebut menggambarkan kritik terhadap Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, permintaan ini merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi melalui seni. Ia membandingkannya dengan kritik yang disampaikan melalui media lain, seperti podcast di YouTube atau video di TikTok, yang sejatinya tidak jauh berbeda.
“Apa bedanya kritik melalui lukisan dengan kritik melalui platform digital? Jika logika ini diterapkan, maka banyak konten digital juga harus dilarang,” ujar Todung.
Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran tersebut, memberikan penjelasan terkait pembatalan. Ia menyebut bahwa dua dari lima karya yang diminta untuk diturunkan menggambarkan opini pribadi seniman tentang praktik kekuasaan. Lukisan tersebut, menurut Suwarno, tidak sesuai dengan tema utama pameran, yaitu “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan”.
Suwarno berpendapat bahwa karya tersebut terlalu vulgar dan kehilangan metafora yang seharusnya menjadi kekuatan seni. “Karya ini terdengar seperti makian dan berpotensi merusak fokus terhadap pesan kuat dari tema pameran,” ujarnya.
Meskipun demikian, keputusan Galeri Nasional memicu perdebatan publik mengenai batas antara kebebasan berekspresi dan batasan kuratorial. Banyak pihak menilai bahwa pembatalan ini mencederai prinsip kebebasan dalam seni. Kritik terhadap penguasa, baik melalui lukisan maupun media lainnya, adalah bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya ruang kebebasan untuk menyampaikan pandangan, termasuk melalui seni. Keputusan Galeri Nasional memunculkan pertanyaan: sejauh mana seni dapat digunakan sebagai media kritik, dan apakah otoritas budaya berhak membatasi ekspresi seniman demi alasan kuratorial?