SEMARANG, Jawa Tengah: Isu pemekaran wilayah kembali mencuat di Jawa Tengah dan kini mulai mengundang perhatian luas. Dua daerah yang selama ini dikenal strategis dan berpengaruh, yaitu Kota Surakarta (Solo) dan Kabupaten Boyolali, menjadi sorotan dalam wacana pembentukan provinsi baru yang disebut-sebut akan bernama Provinsi Surakarta Raya.
Meski masih sebatas wacana, gaung pembentukan provinsi baru ini makin menguat di tengah masyarakat. Tak hanya tokoh adat dan budayawan, sejumlah aktivis daerah hingga anggota legislatif mulai angkat suara. Mereka menilai, pemekaran ini bukan sekadar ambisi politik, melainkan sebagai jawaban atas kebutuhan efisiensi pemerintahan dan pemerataan pembangunan.
Mengurai Beban Jawa Tengah
Jawa Tengah saat ini merupakan provinsi dengan salah satu beban administratif terbesar di Indonesia—baik dari segi luas wilayah maupun jumlah penduduk. Dengan 35 kabupaten/kota, pelayanan publik kerap terkendala oleh jarak geografis dan kesenjangan pembangunan antarwilayah. Hal ini, menurut para pengusung pemekaran, justru menyulitkan percepatan pembangunan di daerah-daerah yang sebetulnya potensial.
“Solo itu pusat sejarah, budaya, dan pendidikan. Boyolali punya kekuatan sektor pertanian dan peternakan. Tapi pembangunan terasa tak seimbang,” ujar seorang tokoh pemuda Solo yang ikut aktif dalam diskusi pemekaran ini.
Munculnya Nama Provinsi Surakarta Raya
Wilayah yang digadang-gadang akan membentuk Provinsi Surakarta Raya terdiri dari tujuh daerah eks Karesidenan Surakarta: Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri. Kesamaan budaya, sejarah, hingga pola sosial ekonomi disebut sebagai alasan kuat untuk menjadikan kawasan ini sebagai satu provinsi mandiri.
Nama “Surakarta Raya” muncul sebagai simbol pemersatu kawasan dengan identitas budaya Jawa yang kuat, namun tetap terbuka terhadap modernisasi.
Antara Harapan dan Keraguan
Di tengah pro-kontra yang berkembang, respons masyarakat pun terbelah. Sebagian besar berharap pemekaran akan membawa perbaikan pelayanan publik, pengelolaan anggaran yang lebih fokus, hingga mempercepat pembangunan infrastruktur di wilayah mereka.
Namun, tidak sedikit pula yang menyuarakan kehati-hatian. Mereka menyoroti kemungkinan tingginya biaya pembentukan provinsi baru, risiko konflik politik lokal, serta persoalan administratif lainnya.
“Harus ada kajian menyeluruh, bukan hanya semangat sesaat,” kata seorang warga Boyolali yang mengaku mendukung jika semua prosesnya berjalan transparan dan partisipatif.
Presidium Mulai Dibentuk, Langkah Menuju Realisasi?
Menariknya, di balik perbincangan publik yang semakin menguat, sejumlah tokoh lokal mulai membentuk Presidium Provinsi Surakarta Raya—sebuah badan non-formal yang bertugas menyusun proposal dan dokumen pendukung untuk pengajuan daerah otonomi baru (DOB). Mereka tengah mengumpulkan data demografi, kapasitas fiskal, hingga kesiapan infrastruktur sebagai bahan pertimbangan.
Langkah ini mengindikasikan bahwa wacana pemekaran bukan lagi sekadar wacana kosong, tapi mulai bergerak secara lebih terstruktur dan serius.
Meski belum sampai meja DPR RI atau Kementerian Dalam Negeri, sinyal politik dan aspirasi warga kini telah menancap kuat. Waktu akan menjawab: apakah Surakarta Raya benar-benar akan lahir sebagai provinsi baru di Indonesia?