JAKARTA: Di era digital yang serba cepat, keputusan keuangan individu tak lagi murni rasional. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau rasa takut ketinggalan menjadi pendorong utama di balik banyak keputusan konsumtif yang sering kali tidak sesuai kebutuhan. Dorongan untuk selalu “ikut tren” ini memicu kecemasan psikologis, terlebih di tengah derasnya arus informasi media sosial dan kampanye digital yang menggoda.
Platform digital dengan algoritma yang pintar menampilkan gaya hidup glamor, barang terbaru, hingga investasi cepat kaya. Semua ini menciptakan tekanan sosial terselubung untuk tampil up-to-date. Tak heran jika banyak orang tergoda membeli barang atau berinvestasi tanpa pertimbangan matang, hanya karena “semua orang melakukannya”.
Dampaknya tak main-main. Banyak anak muda dan pengguna aktif media sosial terjebak dalam pengeluaran impulsif. Beberapa bahkan rela berutang demi bisa mengikuti tren. Padahal, di balik euforia “viral”, tak sedikit yang akhirnya menyesali keputusan finansialnya saat kenyataan menampar keras: tagihan menumpuk, tabungan menipis, dan rasa frustrasi muncul.
Dari perspektif ekonomi Syariah, perilaku ini termasuk konsumsi yang tidak rasional dan melanggar prinsip kehati-hatian. Islam sangat menekankan pentingnya pengelolaan keuangan yang berlandaskan kesederhanaan, tanggung jawab, dan keberlanjutan. Konsep tabzir atau pemborosan, misalnya, dilarang secara tegas dalam Al-Qur’an karena dapat merusak keseimbangan hidup dan menyebabkan kesenjangan sosial.
Menjawab tantangan ini, penting bagi individu untuk kembali ke prinsip dasar manajemen keuangan: membedakan kebutuhan dan keinginan, menyusun anggaran dengan prioritas jelas, dan menahan diri dari pembelian impulsif. Praktik seperti menabung, berinvestasi secara Syariah—misalnya melalui sukuk, logam mulia, atau usaha halal—menjadi solusi untuk meraih stabilitas finansial jangka panjang.
Ketenangan finansial juga dapat diraih dengan mengurangi paparan media sosial yang mendorong gaya hidup konsumtif. Dengan menerapkan nilai qana’ah atau merasa cukup, individu dapat lebih fokus pada keberkahan daripada sekadar kemewahan. Rasulullah SAW pun mencontohkan hidup yang sederhana namun berkecukupan, menjadikan kehati-hatian sebagai pedoman dalam setiap keputusan.
FOMO memang tak bisa sepenuhnya dihindari di tengah budaya digital yang terus berkembang. Namun, dengan kesadaran dan manajemen keuangan yang bijaksana, kita bisa tetap relevan tanpa harus mengorbankan stabilitas finansial. Karena pada akhirnya, bukan tren yang menentukan kualitas hidup, melainkan cara kita menyikapi dan mengelola apa yang kita miliki.