JAKARTA: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpeluang menetapkan pihak-pihak dan perusahaan yang menerima aliran dana fiktif dari PT Taspen sebesar Rp1 triliun sebagai tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau tersangka korporasi.
“Nantinya, jika perusahaan-perusahaan atau individu yang terlibat terbukti ikut dalam persekongkolan tindak pidana korupsi, mereka akan ditindak sesuai hukum,” ungkap Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (1/8/2025).
Pendekatan penyidikan dilakukan menggunakan metode follow the money, yakni melacak aliran uang hasil tindak pidana. “Dengan metode ini, kami juga akan menelusuri hingga meminta pengembalian uang hasil korupsi,” tambah Asep.
Kasus Investasi Fiktif
KPK sebelumnya menahan Antonius N. S. Kosasih (ANSK), mantan Direktur Utama PT Taspen, atas dugaan korupsi terkait investasi fiktif yang merugikan negara hingga Rp200 miliar. Penahanan dilakukan untuk menyelidiki lebih lanjut penempatan dana investasi PT Taspen sebesar Rp1 triliun pada Reksadana I-Next G2 yang dikelola PT IIM.
Dana tersebut diduga menguntungkan sejumlah pihak:
- PT IIM sekurang-kurangnya Rp78 miliar.
- PT VSI sekurang-kurangnya Rp2,2 miliar.
- PT PS sekurang-kurangnya Rp102 juta.
- PT SM sekurang-kurangnya Rp44 juta.
- Pihak-pihak lain yang terafiliasi dengan tersangka ANSK dan EHP.
Kasus bermula pada Juli 2016 ketika PT Taspen berinvestasi pada program THT untuk pembelian Sukuk Ijarah TSP Food II (SIAISA02) senilai Rp200 miliar, yang diterbitkan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Food (TPSF). Namun, pada Juli 2018, Pefindo memberi peringkat “tidak layak” karena gagal bayar kupon.
Pada Agustus 2018, proses PKPU terhadap PT TPSF diputuskan tetap oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Kosasih, yang diangkat sebagai Direktur Investasi PT Taspen pada Januari 2019, menyusun dua opsi terkait sukuk tersebut: memperpanjang tenor hingga 10 tahun atau mengonversinya menjadi saham, yang kemudian diubah menjadi unit penyertaan pada reksadana.
Kontroversial
Pada Mei 2019, Kosasih bertemu dengan Dirut PT IIM, Ekiawan, untuk membahas skema optimalisasi Sukuk TPS Food II. Dalam rapat, Komite Investasi PT Taspen memasukkan sukuk tersebut ke dalam portofolio investasi Reksadana I-Next G2, meski bertentangan dengan kebijakan investasi yang diatur dalam Akta Kontrak Investasi Kolektif.
Pada 23 Mei 2019, pemegang sukuk termasuk PT Taspen menyetujui proposal perdamaian yang mengatur utang BUMN sebesar Rp200 miliar dengan tenor 10 tahun dan bunga 2%.
Namun, pada 28 Mei 2019, Kosasih meminta konsultan hukum memberikan penjelasan terkait risiko pailit PT TPSF dalam rapat direksi. Sehari kemudian, Komite Investasi PT Taspen menyetujui optimalisasi aset melalui reksadana yang dikelola PT IIM.
Pada Mei 2019, PT Taspen menyuntikkan Rp1 triliun untuk unit penyertaan Reksadana I-Next G2. Padahal, kebijakan investasi PT Taspen yang diatur dalam Peraturan Direksi Nomor PD-19/DIR/2019 menyatakan bahwa aset dengan perhatian khusus seperti sukuk harus dipegang tanpa diperjualbelikan, kecuali dengan metode Hold and Average Down.
KPK menilai tindakan Kosasih dan pihak terkait melanggar prinsip Good Corporate Governance (GCG) karena menunjuk manajer investasi sebelum ada penawaran resmi.
“Penempatan dana ini tidak sesuai kebijakan investasi PT Taspen,” tegas Asep.
Kasus ini masih dalam penyidikan, dan KPK berkomitmen menuntaskan proses hukum termasuk mengusut keterlibatan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari tindak pidana ini.