JAKARTA: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian terhadap risiko korupsi dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Salah satu temuan yang menjadi sorotan adalah praktik seleksi pada tahap wawancara, di mana beberapa calon peserta diminta untuk menunjukkan saldo rekening mereka.
Temuan itu termaktub dalam Laporan Kajian Identifikasi Risiko Korupsi Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) pada 2023 yang dirilis KPK dalam laman resminya seperti yang terlihat, Senin (23/12/2024).
Menurut pihak universitas, tujuan dari pertanyaan tentang saldo rekening bank tersebut adalah memastikan kemampuan finansial peserta PPDS. Hal ini dianggap penting mengingat pendidikan dokter spesialis memerlukan biaya tinggi, sehingga mengurangi risiko peserta berhenti di tengah jalan.
Namun, survei KPK menunjukkan fakta yang mencolok. Dari 58 responden yang diminta menunjukkan saldo rekening, hanya enam orang yang bersedia dengan saldo di atas Rp500 juta. Sebagian lainnya memiliki saldo bervariasi, mulai dari Rp100 juta hingga Rp500 juta, sementara 19 responden memiliki saldo di bawah Rp100 juta. Ada juga 18 responden yang menolak menunjukkan saldo mereka. Responden survei berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, mencakup program studi seperti radiologi, penyakit dalam, anestesi, bedah, dan spesialisasi lainnya.
KPK menilai bahwa meskipun jumlah responden yang diminta menunjukkan saldo relatif kecil, praktik ini menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam wawancara seleksi. Sebagian peserta diminta informasi saldo rekening, sementara lainnya tidak.
Biaya Tidak Resmi dalam Seleksi PPDS
Selain pertanyaan saldo rekening, KPK juga menemukan indikasi adanya biaya tidak resmi selama proses seleksi. Dari survei, sebanyak 37 responden mengaku diminta membayar biaya tambahan di luar biaya seleksi resmi. Jumlahnya bervariasi, mulai dari Rp30 ribu hingga Rp500 juta.
Misalnya, tujuh responden dari Sulawesi menyebutkan biaya tambahan mencapai Rp500 juta, sementara 14 responden dari Bali dan Nusa Tenggara menyebutkan angka hingga Rp200 juta. Di Jawa, biaya tambahan berkisar hingga Rp40 juta, sedangkan di Sumatera mencapai Rp20 juta.
KPK menyebutkan bahwa temuan ini memerlukan pendalaman lebih lanjut, terutama untuk mengetahui pihak penerima biaya tersebut serta metode pembayarannya.
Metode Penelitian dan Responden
Survei ini dilakukan secara daring melalui Google Form dengan teknik snowball sampling. KPK bekerja sama dengan Asosiasi Fakultas Kedokteran Negeri Seluruh Indonesia (AFKNI) untuk menyebarkan kuesioner kepada dekan-dekan fakultas kedokteran, jejaring mahasiswa, dan alumni PPDS.
Proses pengumpulan data berlangsung selama 30 hari hingga data mencapai saturasi. Dari total 1.417 responden, sebanyak 1.366 merupakan peserta seleksi PPDS, baik mahasiswa maupun alumni. Jumlah ini mencakup sekitar 10 persen dari total populasi peserta didik PPDS, yang diperkirakan mencapai 13.000 orang berdasarkan data Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia tahun 2020.
Temuan KPK menyoroti adanya potensi ketidakadilan dan risiko korupsi dalam seleksi PPDS, baik melalui permintaan mengungkap saldo rekening maupun biaya tambahan di luar ketentuan resmi. Hal ini menunjukkan perlunya transparansi dan pengawasan lebih ketat dalam proses seleksi pendidikan dokter spesialis untuk memastikan integritas dan kesetaraan bagi semua peserta.