JAKARTA: Persaingan teknologi kian memanas. OpenAI, perusahaan di balik chatbot canggih ChatGPT, menyatakan kesiapannya untuk membeli Google Chrome—peramban paling populer di dunia—jika Google benar-benar dipaksa menjualnya oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai sanksi atas praktik monopoli.
Pernyataan mengejutkan ini disampaikan oleh Nick Turley, Kepala Produk ChatGPT, dalam kesaksiannya di pengadilan federal AS yang saat ini tengah membahas bentuk hukuman terhadap Google. Turley hadir sebagai saksi yang diajukan oleh Departemen Kehakiman AS (DoJ), yang sebelumnya memenangkan gugatan antitrust terhadap raksasa teknologi itu pada 2023.
“Dengan memiliki Chrome, kami bisa menawarkan pengalaman yang luar biasa dan memperkenalkan kepada pengguna seperti apa bentuk browser yang benar-benar berbasis AI,” kata Turley, dikutip dari Bloomberg.
Google dinilai telah menyalahgunakan dominasinya di pasar mesin pencari untuk menyingkirkan kompetitor dan mempertahankan posisi dominannya melalui praktik tidak adil—seperti kontrak eksklusif dengan produsen gadget dan integrasi produk yang menutup ruang persaingan.
Turley menjelaskan bahwa OpenAI pernah meminta akses ke data pencarian Google demi meningkatkan layanan SearchGPT, namun ditolak. Menurutnya, akses ke data real-time sangat penting untuk membangun mesin pencari berbasis AI yang lebih cerdas dan relevan.
Selain itu, Turley mengungkapkan bahwa Google menggunakan kekuatan finansialnya untuk memperluas pengaruh. Contohnya, sejak Januari lalu, Google mulai membayar Samsung agar Gemini—produk AI pesaing ChatGPT—terpasang secara default di perangkat mereka. OpenAI disebut tak diberi ruang yang sama untuk bernegosiasi.
Tak hanya itu, Google juga dilaporkan membayar Apple miliaran dolar setiap tahun agar tetap menjadi mesin pencari default di Safari. Praktik ini dianggap DoJ sebagai hambatan besar bagi kompetisi.
Sebagai tanggapan atas dominasi Google, OpenAI kabarnya telah menyiapkan rencana untuk membuat browser tandingan. Perusahaan bahkan merekrut dua mantan pengembang utama Chrome, Ben Goodger dan Darin Fisher, untuk mempercepat pengembangan.
DoJ sendiri secara eksplisit meminta agar Google dipaksa menjual Chrome. Browser disebut sebagai gerbang utama ke internet, dan kendali Google atasnya dianggap memperkuat posisi dominan mereka secara tidak adil.
“Google tidak boleh mengontrol semua saluran distribusi utama ke internet,” ujar pihak DoJ.
Selain divestasi Chrome, DoJ juga merekomendasikan agar Google diwajibkan memberi lisensi akses data pencarian kepada pesaing dan menghentikan kontrak eksklusif dengan perusahaan teknologi lain.
Google menolak tuduhan tersebut dan menyebut bahwa usulan DoJ justru dapat merusak pengalaman pengguna serta melemahkan daya saing teknologi AS secara global.
Keputusan akhir soal sanksi terhadap Google dijadwalkan keluar pada Agustus 2025. Jika divestasi benar terjadi, babak baru dalam sejarah industri peramban dan pencarian online siap dimulai—dan OpenAI tampaknya tidak ingin ketinggalan mengambil bagian di dalamnya.