Sketsa.co
  • News
  • Ekonomi Bisnis
  • Historia
  • Lowongan Kerja
  • Event
  • Finansial
  • Internasional
  • Obituari
  • Opini
Reading: Skandal Kredit Sritex: Bukti GCG di Bank BJB dan Bank DKI Hanya ‘Lips Service’
Share
Aa
Aa
Sketsa.co
  • Home
  • News
  • Internasional
  • Ekonomi Bisnis
Search
  • Home
    • Home 1
    • Home 2
    • Home 3
    • Home 4
    • Home 5
  • Categories
    • Tech News
  • Bookmarks
  • More Foxiz
    • Sitemap
Follow US
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
© 2023 Raka. All Rights Reserved.
Home » Blog » Skandal Kredit Sritex: Bukti GCG di Bank BJB dan Bank DKI Hanya ‘Lips Service’
HukumHukum Bisnis

Skandal Kredit Sritex: Bukti GCG di Bank BJB dan Bank DKI Hanya ‘Lips Service’

Last updated: Senin, 2 Juni 2025, 1:53 PM
By admin
Share
12 Min Read
Tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi kredit Sritex, yakni Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto (tengah), Direktur Utama Bank DKI periode 2020 Zainuddin Mappa (kanan), dan Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB periode 2020 Dicky Syahbandinata. (kiri) (Foto/Istimewa)
SHARE

JAKARTA: Ibarat bisul bernanah yang muncul di sekitar luka utama, dugaan korupsi yang baru-baru ini terungkap membuat ‘luka utama’ yaitu skandal kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) semakin rumit.

Ujungnya sudah dapat diprediksi: harapan ribuan karyawan yang terkena PHK untuk mendapatkan pesangon akan terkatung-katung, bahkan ada kemungkinan sirna begitu saja.

Melihat Laporan Keuangan 2020, Sritex mulai mengalami krisis keuangan pada tahun 2020, setelah pada tahun 2019 meraih laba bersih US$85,32 juta dan melakukan aksi korporasi dengan mengakuisisi PT Primayudha Mandirijaya dan PT Bitratex Industries.

Namun, badai Covid-19 mengubah segalanya. Pada akhir tahun 2021, Sritex mencatatkan kerugian sebesar US$1,08 miliar dengan defisiensi modal sebesar US$398,81 juta. Posisi ini terus memburuk hingga paruh pertama tahun 2024.

Hingga Juni 2024, total liabilitas Sritex mencapai US$1,59 miliar atau sekitar Rp25,12 triliun. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan total aset perusahaan yang hanya sebesar US$617,33 juta atau sekitar Rp9,7 triliun.

Terlilit utang

Salah satu faktor utama yang menjadi beban keuangan Sritex adalah utang bank yang terus menumpuk.

Hingga akhir Juni 2024, menurut kurator, Sritex tercatat memiliki utang sebesar Rp 29,8 triliun kepada 1.654 kreditur, yang terdiri dari 22 kreditur separatis, 349 kreditur preferen, dan 94 kreditur konkuren. Namun, dari total tersebut, Sritex memiliki utang sebesar Rp 4,2 triliun kepada bank BUMN dan bank daerah.

Secara rinci, Sritex menanggung utang sebesar Rp 2,9 triliun kepada BNI, Rp 611 miliar kepada Bank BJBR, Rp 185 miliar kepada PT Bank DKI, dan Rp 502 miliar kepada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.

Sritex juga memiliki kewajiban utang kepada Bea dan Cukai Surakarta sebesar Rp 189,2 miliar, Perusahaan Listrik Negara atau PT PLN Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai kreditur konkuren sebesar Rp 43,6 miliar, serta Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sukoharjo sebesar Rp 28,6 miliar.

Sementara itu, menurut Kejagung, Sritex juga memiliki kewajiban utang kepada Bea dan Cukai Surakarta sebesar Rp 189,2 miliar, PT PLN Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai kreditur konkuren sebesar Rp 43,6 miliar, serta Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sukoharjo sebesar Rp 28,6 miliar.

Selain itu, Sritex masih memiliki utang dalam jumlah besar kepada beberapa bank milik pemerintah. Total tagihan yang ditanggung oleh raksasa tekstil tersebut mencapai Rp 3.588.650.808.028 atau Rp 3,5 triliun.

Selain Bank DKI dan Bank BJBR, beberapa bank yang menjadi kreditur Sritex adalah Bank Jateng, serta bank sindikasi yang terdiri dari BNI, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Sritex juga terlilit utang sebesar Rp 395,66 miliar kepada Bank Jateng dan Rp 2,5 triliun kepada bank sindikasi.

Ironi Praktik GCG

Sebenarnya, skandal utang yang melibatkan Sritex dan beberapa pihak pemberi pinjaman, termasuk sejumlah bank yang memberikan kredit, merupakan sebuah ironi besar dari praktik good corporate governance (GCG) di Indonesia.

Bagaimana tidak, Sritex adalah perusahaan yang telah go public, sebuah perusahaan terbuka (Tbk) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sejak tahun 2013. Di sisi lain, bank-bank yang memberikan kredit adalah bank publik karena berstatus BUMN, dan ada juga yang berstatus Tbk.

Sebagai perusahaan publik, baik Sritex maupun bank-bank kreditur tersebut tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), serta Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK).

Kedua ketentuan hukum ini mewajibkan perusahaan untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG.

Secara konseptual, GCG adalah sistem pengendalian internal perusahaan yang bertujuan utama untuk mengelola risiko signifikan guna mencapai tujuan bisnis melalui perlindungan aset perusahaan dan peningkatan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang.

Mengacu pada UU tentang GCG, perusahaan publik diwajibkan memiliki komisaris independen yang bertugas mengawasi kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan perusahaan, memberikan nasihat kepada direksi, serta mewakili kepentingan pemegang saham minoritas dan pemangku kepentingan lainnya.

Komisaris independen juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan iklim yang lebih independen dan objektif bagi perusahaan.

UU GCG juga mewajibkan perusahaan publik untuk memiliki corporate secretary (sekretaris perusahaan) yang berfungsi sebagai ‘jembatan komunikasi’ antara perusahaan dengan pemegang saham, dewan komisaris, direksi, pemangku kepentingan lainnya, dan regulator, serta memastikan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku.

Sekretaris perusahaan memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan keterbukaan informasi serta menjaga kerahasiaan data perusahaan.

UU GCG juga menjamin bahwa perusahaan publik harus menerapkan kebijakan pengungkapan pelanggaran (whistleblowing policy/WBS).

Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk menyediakan saluran yang bersifat rahasia dan melindungi karyawan serta pemangku kepentingan dalam melaporkan dugaan pelanggaran terhadap standar etika, hukum, atau peraturan.

Sistem ini bertujuan untuk mendorong pelaporan, melindungi pelapor dari tindakan balas dendam, dan memastikan bahwa masalah yang mungkin timbul ditangani dengan cepat.

Idealnya, penerapan prinsip GCG seharusnya memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan. Hal ini disebabkan oleh GCG yang menekankan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran (keadilan) yang dapat menjamin kepercayaan pemegang saham atau publik secara umum, mengurangi risiko korupsi dan penipuan, serta meningkatkan efisiensi operasional perusahaan.

Namun, apa yang diharapkan tersebut seolah-olah ‘jauh panggang dari api’. Sebagai perusahaan Tbk, Sritex terbukti tidak menerapkan transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan tanggung jawab sosial.

Sebagai pemimpin Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, menggunakan fasilitas kredit sebesar Rp692 miliar sesuai dengan tujuannya untuk mengembangkan operasi bisnis, tetapi justru digunakan untuk membayar utang dan membeli aset tanah di beberapa lokasi untuk kepentingan pribadi.

Pihak Bank BJB dan Bank DKI juga mengabaikan prinsip-prinsip GCG. Direktur Utama Bank DKI (kala itu) Zainudin Mappa, dan Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB (kala itu) Dicky Syahbandinata diduga memberikan kredit secara melawan hukum.

Menurut ketentuan hukum, sebuah perusahaan baru berhak mendapatkan kredit bank jika memiliki predikat pemeringkatan utang A. Sritex hanya memiliki predikat BB min atau memiliki risiko gagal bayar (utang) yang tinggi.

Tanpa melakukan analisis terlebih dahulu dan tidak mematuhi prosedur, dengan tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja, Bank BJBR dan Bank DKI tetap memberikan kredit kepada Sritex.

Diketahui bahwa Bank BJB mengucurkan kredit sebesar Rp543,9 miliar, sedangkan Bank DKI memberikan Rp149,7 miliar. Akibatnya, Sritex mengalami gagal bayar yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp692,9 miliar dari total tagihan Rp3,5 triliun.

Lips Service 

Menjelang akhir Mei lalu, Corporate Secretary Bank BJB Ayi Subarna mengonfirmasi bahwa Dicky Syahbandinata pernah bekerja di Bank BJB. Namun, sejak April 2023, dia bukan lagi karyawan Bank BJB.

Ayi kemudian menyatakan bahwa seluruh aktivitas operasional dan layanan perusahaan Bank BJB tetap berjalan normal.

Melalui keterangannya, Ayi seolah ingin menunjukkan bahwa elemen-elemen GCG Bank BJB selalu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

Kesan ini juga sangat jelas terlihat dalam narasi yang tertulis di Buku Laporan Tahunan (Annual Report) Bank BJB yang diterbitkan setiap tahunnya.

Komisaris Bank BJB mengungkapkan bahwa, secara umum, pencapaian target Bank BJB pada tahun 2020 telah menunjukkan hasil yang baik. Bank BJB berhasil melampaui target aset sebesar 110,26 persen dengan realisasi mencapai Rp133,56 triliun.

Pencapaian target kredit yang diberikan juga berada di atas target, yaitu sebesar 105,09 persen. Kredit konsumer meningkat mencapai 67,47 persen, dan total dana pihak ketiga meningkat sebesar 9,34 persen.

Kredit konsumer meningkat 6,21 persen, dan total dana pihak ketiga mencapai Rp34,70 triliun, meningkat 9,34 persen atau Rp2,96 triliun dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai Rp31,74 triliun.

Dewan Komisaris kemudian menjelaskan bahwa Bank BJB tidak bertentangan dengan peraturan yang dapat menimbulkan pelanggaran hukum.

Penerapan GCG dapat meningkatkan kinerja perseroan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perseroan, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.

Oleh karena itu, penerapan GCG menjadi fokus utama bagi Dewan Komisaris dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi.

Secara singkat, Dewan Komisaris berpendapat bahwa Direksi Bank BJB telah menerapkan GCG dengan efektif dan konsisten pada tahun 2020.

Selanjutnya, dinyatakan bahwa Satuan Kerja Audit Internal Bank BJB telah mengelola WBS dengan penuh tanggung jawab.

Hingga akhir Desember 2020, terdapat 29 pengaduan yang masuk melalui WBS. Semua pengaduan tersebut telah ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Narasi serupa juga terlihat dalam Laporan Tahunan Bank DKI tahun 2020.

Di dalam laporan tersebut, dapat dilihat bahwa Dewan Komisaris Bank DKI menilai Direksi Bank DKI telah melaksanakan kebijakan dan pengelolaan dengan sangat baik.

Dewan Komisaris juga menilai bahwa seluruh rencana strategis bank telah dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh Direksi.

Menariknya, selain narasi positif dari elemen-elemen GCG internal, selama tahun 2020, baik Bank BJB maupun Bank DKI berhasil meraih puluhan penghargaan dari berbagai lembaga terkait kinerja dan penerapan GCG yang sangat baik.

Bahkan, Bank BJB pada tahun 2020 meraih penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan atas komitmen Bank BJB dalam memberantas korupsi, khususnya melalui penerapan UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) dan pengelolaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara).

Sementara itu, Bank DKI mendapatkan penghargaan sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terbaik Top of The Top dan Top BUMD 2020 Bintang Lima atas pertumbuhan kinerja yang baik dalam kegiatan Top BUMD Awards 2020 dari Majalah Top Business dan Institut Otonomi Daerah.

Setelah membaca narasi ‘suci’ mengenai penerapan GCG seperti yang telah disebutkan di atas, jelas bahwa tidak ada alasan bagi siapa pun untuk membayangkan terjadinya suatu skandal kredit.

Namun, ketika mengetahui bahwa Bank BJB dan Bank DKI benar-benar telah memberikan kredit kepada Sritex secara diduga melawan hukum, maka kesimpulan awal yang bisa diambil adalah bahwa “GCG di Bank BJB dan Bank DKI’ hanyalah lips service“.

Yang memprihatinkan, “omong kosong” GCG tersebut seolah dijustifikasi oleh sejumlah lembaga yang memberikan penghargaan kepada kedua bank itu, tidak terkecuali oleh KPK, yang seharusnya berperan sebagai garda terdepan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di  Tanah Air.  (Maximus Ali Perajaka).

You Might Also Like

Hati-Hati! Scan QRIS Bisa Buat Saldo Ludes, Ini Modus Baru Penipuan Digital

Mulai 2026, Dokumen Tanah Adat Tidak Berlaku Lagi Sebagai Bukti Kepemilikan

Kasus Investasi Fiktif PT Taspen: KPK Tetapkan PT Insight Investments Management Tersangka Korporasi

Kejaksaan Agung Tegaskan Uang Rp11,8 Triliun dari Wilmar Bukan Dana Jaminan

admin 2 Juni 2025
Share this Article
Facebook Twitter Copy Link Print
Share
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Berapa Lama Waktu Ideal Ngecas Motor Listrik? Simak Penjelasannya!
Next Article Kabar Gembira! Diskon Listrik 50% Kembali Hadir Mulai 5 Juni 2025
Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Popular Articles

Latest News

Lowongan Baru! Komisi Informasi DKI Cari Sosok Berintegritas, Kamu Salah Satunya?
Bansos Tuntas Bertahap: Proses Rekening Kolektif Capai 1,6 Juta Penerima
Cara Cerdas Punya Passive Income: Panduan Realistis untuk Pemula
Hidup Serba Mahal? Begini Cara Gen Z Bisa Tetap Menabung Tanpa Tersiksa
Bisnis Laundry: Peluang Usaha Menjanjikan di Tengah Gaya Hidup Serba Praktis
SuarNews.com
- Advertisement -
Sketsa.co
Follow US

© 2022 Raka Design Company. All Rights Reserved.

  • About Us
  • Contact
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Siber
  • Redaksi

Removed from reading list

Undo
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?