JAKARTA: Kejaksaan Agung menetapkan mantan Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex) periode 2005–2022, Iwan Setiawan Lukminto, sebagai tersangka kasus korupsi terkait pemberian fasilitas kredit dari sejumlah bank. Penetapan ini menyusul penangkapan Iwan di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, pada 20 Mei 2025. Saat ini, Iwan menjabat sebagai Komisaris Utama Sritex.
Selain Iwan, dua tokoh perbankan juga menjadi tersangka, yaitu Zainuddin Mappa selaku Direktur Utama PT Bank DKI pada 2020, dan Dicky Syahbandinata, Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB tahun 2020. Ketiganya ditahan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) untuk kepentingan pemeriksaan lebih lanjut.
Kejaksaan mengungkapkan bahwa dugaan korupsi ini menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 692,28 miliar. Kasus ini mencuat setelah penyidik mencurigai adanya kejanggalan dalam laporan keuangan Sritex pada 2021. Saat itu, perusahaan melaporkan kerugian sebesar US$1,08 miliar (sekitar Rp15,6 triliun), padahal tahun sebelumnya mencetak laba Rp1,24 triliun.
Investigasi menunjukkan bahwa hingga Oktober 2024, Sritex dan anak usahanya memiliki kredit dengan tagihan belum lunas mencapai Rp 3,59 triliun dari beberapa bank, di antaranya Bank DKI, Bank BJB, Bank Jateng, serta bank sindikasi seperti BRI, BNI, dan LPEI.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Bank DKI dan Bank BJB memberikan fasilitas kredit kepada Sritex tanpa analisis memadai dan melanggar prosedur perbankan. Karena itu, pejabat tinggi dari dua bank tersebut turut dijerat hukum.
Menurut penyidik, dana kredit yang diterima Sritex tidak digunakan sesuai tujuan awal, yakni sebagai modal kerja. Sebaliknya, dana dari Bank BJB sebesar Rp 543 miliar dan dari Bank DKI Rp 149 miliar dipakai untuk membayar utang lama serta membeli aset non-produktif seperti tanah di Solo dan Yogyakarta. Penyalahgunaan dana ini menyebabkan gangguan arus kas dan mengakibatkan kredit macet.
Zainuddin Mappa dan Dicky Syahbandinata diketahui memberikan persetujuan kredit tanpa proses penilaian kelayakan yang semestinya, sehingga turut bertanggung jawab dalam praktik korupsi tersebut.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung pada Desember 2024. Operasional perusahaan dihentikan mulai 1 Maret 2025. Keputusan pailit bermula dari sengketa piutang dengan PT Indo Bharat Rayon sebesar Rp 101,3 miliar. Total utang Sritex dan anak perusahaannya mencapai Rp 32,63 triliun, sementara asetnya hanya bernilai Rp 9,63 triliun. Imbasnya, sekitar 11.000 karyawan kehilangan pekerjaan secara bertahap sejak Agustus 2024.