JAKARTA: Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Malvino Edward Yusticia, mantan Kepala Subdirektorat 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, menjadi perhatian publik setelah terlibat dalam kasus pemerasan. Peristiwa ini mencoreng citra kepolisian, terutama karena melibatkan seorang perwira yang sebelumnya memiliki rekam jejak prestasi.
Kasus pemerasan ini terjadi pada konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 yang berlangsung di Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 13-15 Desember 2024. Berdasarkan hasil investigasi, Malvino bersama dua rekannya, Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dan AKP Yudhy Triananta Syaeful, terbukti memeras sejumlah penonton, baik warga negara asing (WNA) maupun Indonesia (WNI). Ketiga polisi tersebut kemudian dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) setelah menjalani sidang kode etik profesi Polri (KEPP).
Modus Operandi Pemerasan
Dalam aksinya, Malvino dan timnya diduga menuduh para korban terkait penyalahgunaan narkoba tanpa bukti yang valid. Tuduhan tersebut digunakan sebagai dalih untuk meminta sejumlah uang dari korban sebagai syarat pembebasan tanpa proses hukum. Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, mengungkapkan bahwa tindakan ini dilakukan saat korban sedang diperiksa.
“Malvino memanfaatkan situasi untuk meminta uang sebagai imbalan atas pembebasan atau pelepasan para korban,” jelas Trunoyudo. Akibat perbuatannya, Malvino dinyatakan melanggar sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 serta Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
Ajukan Banding
Sidang KEPP menjatuhkan beberapa sanksi kepada Malvino, termasuk dinyatakan melakukan perbuatan tercela secara etika, penempatan di tempat khusus selama enam hari, dan PTDH sebagai anggota Polri. Meski demikian, Malvino memilih untuk mengajukan banding atas putusan ini.
Malvino Edward Yusticia lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 9 Agustus 1985. Pada usia 39 tahun, ia sudah menorehkan berbagai pencapaian dalam kariernya. Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 2006 ini pernah mengemban berbagai pendidikan lanjutan, termasuk Sespimen Polri di Lembang, Jawa Barat, serta kursus tentang evolusi terorisme di Selandia Baru pada 2016.
Karier Malvino di Polda Metro Jaya diwarnai sejumlah prestasi, seperti menangani kasus perampokan dan pembunuhan keluarga di Pulomas, Jakarta Timur, pada 2016. Ia juga dikenal atas keberhasilannya membongkar peredaran narkotika jaringan internasional, termasuk pengungkapan kasus sabu-sabu 1,2 ton pada April 2021.
Selain itu, Malvino memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni. Ia menyelesaikan S1 Hukum di Universitas Jenderal Soedirman pada 2010 dan S1 Ilmu Kepolisian di STIK-PTIK pada 2013. Ia juga meraih gelar Magister Hukum pada 2012 serta Master of Strategic Studies dari Victoria University of Wellington, Selandia Baru, pada 2016.
Citra yang Tercoreng
Prestasi Malvino dalam bidang penegakan hukum tidak mampu menutupi pelanggaran etik yang ia lakukan. Kasus ini menjadi ironi tersendiri, mengingat Malvino sebelumnya dikenal sebagai perwira yang berdedikasi tinggi dalam memerangi narkotika.
Keputusan PTDH terhadap Malvino dan rekan-rekannya menunjukkan ketegasan Polri dalam menegakkan kode etik. Namun, kasus ini juga menjadi pengingat bahwa institusi kepolisian harus lebih berhati-hati dalam memantau integritas anggotanya, terutama mereka yang menduduki posisi strategis.
Dengan pengajuan banding yang dilakukan, nasib karier Malvino di kepolisian kini berada di tangan proses hukum lanjutan. Meskipun begitu, kepercayaan publik terhadap dirinya telah terlanjur runtuh, meninggalkan catatan hitam dalam perjalanan karier yang semula menjanjikan.