JAKARTA: Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengkritik pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum) Supratman Andi Agtas yang menyebut pengampunan bagi koruptor dapat dilakukan melalui mekanisme denda damai. Denda damai ini merupakan kewenangan yang diberikan kepada Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Kejaksaan yang baru.
Mahfud menegaskan pandangan Supratman terkait denda damai ini adalah kesalahan pemahaman yang serius. “Ini bukan salah kaprah, tapi salah beneran,” tegas Mahfud di Jakarta, Kamis (26/12). Menurutnya, konsep denda damai tidak pernah digunakan untuk tindak pidana korupsi dan tidak seharusnya diusulkan.
Dasar Hukum Denda Damai
Ketentuan mengenai denda damai tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Jaksa Agung memiliki wewenang untuk menangani tindak pidana ekonomi yang menyebabkan kerugian negara dengan menggunakan mekanisme denda damai sesuai peraturan perundang-undangan.
Penjelasan pasal itu menyatakan, denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar sejumlah denda yang disetujui Jaksa Agung. Namun, Mahfud menegaskan bahwa tindak pidana korupsi tidak termasuk dalam cakupan ini.
“Tidak ada korupsi yang diselesaikan secara damai. Itu justru membuka jalan untuk kolusi. Hukum pidana dan undang-undang antikorupsi tidak membenarkan mekanisme semacam itu,” jelas Mahfud.
Hanya untuk Tindak Pidana Ekonomi
Mahfud menjelaskan bahwa denda damai hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi tertentu, seperti pelanggaran di bidang perpajakan, kepabeanan, dan bea cukai. Contohnya, jika ada pelanggar yang kurang membayar pajak, mekanisme ini memungkinkan mereka menyelesaikan kekurangan tersebut dengan membayar denda yang telah ditentukan.
Ia menyoroti bahwa sebelumnya mekanisme ini memerlukan izin dari Kementerian Keuangan yang diajukan kepada Kejaksaan Agung. Namun, dalam UU Kejaksaan terbaru, kewenangan tersebut langsung diberikan kepada Jaksa Agung. Meski begitu, ketentuan ini tetap terbatas untuk kasus tindak pidana ekonomi, bukan korupsi.
Mahfud juga menolak usulan Presiden Prabowo Subianto terkait pengampunan bagi koruptor yang mengembalikan hasil korupsinya. Menurutnya, gagasan ini bertentangan dengan prinsip hukum pidana dan undang-undang antikorupsi yang berlaku di Indonesia.
Ia mengkritik langkah Supratman yang mencoba mencari dasar hukum untuk menerapkan denda damai pada kasus korupsi. “Denda damai tidak berlaku untuk korupsi. Itu hanya untuk tindak pidana ekonomi tertentu,” tegas Mahfud.
Pandangan Menkum Supratman
Sebelumnya, Supratman menyatakan bahwa pemberian pengampunan kepada koruptor melalui denda damai dimungkinkan oleh UU Kejaksaan yang baru. Namun, ia menambahkan, implementasi mekanisme ini masih menunggu peraturan turunan berupa peraturan Jaksa Agung.
Meskipun ada potensi pengampunan melalui denda damai, Supratman menekankan bahwa Presiden akan tetap bersikap selektif dan berupaya memberikan hukuman maksimal kepada koruptor.