JAKARTA: Musim kemarau tahun 2025 diprediksi mengalami keterlambatan di sejumlah besar wilayah Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan hasil pemutakhiran terbaru yang menunjukkan pergeseran awal musim kemarau, terutama di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
“Hasil pemutakhiran awal musim kemarau 2025 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah yang mengalami perubahan mengalami pergeseran ke waktu awal musim yang datang lebih lambat dibandingkan prediksi Februari,” demikian pernyataan BMKG pada 2 Juni 2025.
Pergeseran musim ini cukup signifikan. Di Pulau Jawa, beberapa wilayah yang semula diperkirakan mulai memasuki musim kemarau pada akhir April hingga awal Mei, kini justru diprediksi baru akan mengalaminya pada akhir Mei hingga awal Juni. Bahkan, di daerah seperti Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur, pergeseran mencapai 3 hingga 5 dasarian (satu dasarian setara dengan 10 hari).
Fenomena serupa juga terjadi di Bali dan Nusa Tenggara, di mana pergeseran awal musim kemarau rata-rata mencapai 2 hingga 4 dasarian. Ini berarti, musim kemarau 2025 datang lebih lambat dari kondisi normal di banyak wilayah yang telah diperbarui datanya oleh BMKG.
Puncak Kemarau Masih di Juli–Agustus, Tapi Ada Perbedaan Wilayah
Meski awal musim kemarau mengalami keterlambatan, BMKG memastikan bahwa puncaknya secara umum tetap akan berlangsung pada bulan Juli hingga Agustus 2025. Namun, tidak semua daerah mengalami pola yang sama.
Di Jawa dan Papua, puncak musim kemarau justru diperkirakan akan terjadi lebih awal dari prediksi sebelumnya. Sebaliknya, di wilayah Sumatera dan Sulawesi, puncaknya justru bergeser ke waktu yang lebih lambat.
BMKG menekankan bahwa sebagian besar wilayah masih akan mengalami puncak musim kemarau sesuai pola klimatologis normal. Namun, perubahan pada awal dan puncak musim tetap perlu diwaspadai karena berpotensi memengaruhi banyak sektor, termasuk pertanian dan ketersediaan air bersih.
Durasi Kemarau Lebih Pendek, Tapi Ada yang Lebih Panjang
Tak hanya soal waktu datangnya musim kemarau, durasinya pun diperkirakan mengalami perubahan. Di beberapa daerah seperti Jawa, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, musim kemarau tahun ini diprediksi akan berlangsung lebih singkat dari biasanya. Namun, sebagian wilayah lain, termasuk beberapa bagian di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua, justru berpotensi mengalami musim kemarau yang lebih panjang, bahkan bisa melampaui 24 dasarian.
Imbauan untuk Masyarakat: Pantau Cuaca Secara Berkala
Dengan adanya pergeseran musim dan potensi perubahan durasi kemarau, BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan memperhatikan informasi prakiraan cuaca terkini. Perubahan pola musim bisa berdampak pada hasil pertanian, pengelolaan sumber daya air, hingga aktivitas harian masyarakat.
“Pemantauan dan adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting, terutama bagi petani, nelayan, dan sektor lainnya yang sangat bergantung pada kondisi cuaca,” tambah BMKG.
Musim kemarau yang tak menentu ini menjadi pengingat bahwa dinamika iklim semakin kompleks, dan kesiapsiagaan menjadi kunci untuk menghadapi dampaknya.