JAKARTA: Pemerintah tengah mempersiapkan regulasi baru yang akan berdampak pada ekosistem perdagangan digital di Indonesia. Dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus berkembang, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berencana menetapkan kewajiban pemotongan pajak oleh platform e-commerce terhadap para penjual online.
Rencana ini menegaskan bahwa hanya pedagang online dengan omzet tahunan minimal Rp 500 juta yang akan dikenakan kewajiban ini. Artinya, pelaku usaha mikro dengan omzet di bawah ambang batas tersebut tetap aman dan tidak terkena dampak langsung dari kebijakan ini.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, menegaskan bahwa ini bukanlah bentuk pajak baru, melainkan penyesuaian terhadap mekanisme pemungutan pajak. Nantinya, marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan lainnya akan bertindak sebagai pemotong pajak langsung dari transaksi yang dilakukan para penjual di platform mereka.
Langkah ini sejalan dengan pertumbuhan pesat ekonomi digital. Data DJP per 31 Maret 2025 mencatat total penerimaan pajak dari sektor ini mencapai Rp 34,91 triliun. Angka tersebut berasal dari PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp 27,48 triliun, pajak kripto sebesar Rp 1,2 triliun, pajak dari sektor fintech sebesar Rp 3,28 triliun, dan pajak SIPP sebesar Rp 2,94 triliun.
Industri E-Commerce Dukung, Tapi Minta Implementasi Adil
Menanggapi kebijakan ini, Sekjen Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyatakan bahwa asosiasi mendukung langkah pemerintah selama implementasinya tepat sasaran dan tidak membebani pelaku usaha kecil.
“Apa pun kebijakan pemerintah, kami siap mendukung selama dilakukan dengan adil. Kepatuhan terhadap regulasi adalah bagian dari komitmen kami membangun ekosistem e-commerce yang sehat,” ujar Budi.
Namun ia mengingatkan, hingga kini regulasi resmi belum diterbitkan. Beberapa platform sudah mendapat sosialisasi dari DJP, tetapi belum bisa mengambil langkah teknis tanpa kejelasan hukum. Ia menegaskan, jutaan UMKM digital harus dilindungi agar tidak terdampak negatif.
“Kami siap bekerja sama dengan DJP dalam merumuskan kebijakan pajak yang adil dan tidak mematikan semangat usaha para pelaku UMKM,” tambahnya.
Menteri UMKM Tunggu Koordinasi
Di sisi lain, Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, mengaku baru mendapat informasi awal mengenai rencana ini dan belum sempat melakukan koordinasi dengan Kemenkeu. Ia menyebut akan meninjau lebih lanjut karena kebijakan ini bisa berdampak luas pada pelaku UMKM digital.
“Belum bisa komentar banyak, saya baru terima kabarnya. Nanti kita bahas setelah ada koordinasi dengan Kemenkeu,” ujarnya.
Maman mengakui bahwa pelaku UMKM offline saat ini sudah dikenai PPh final 0,5 persen untuk omzet di atas Rp 500 juta per bulan sesuai PP 55/2022. Namun kebijakan itu belum menyentuh sektor online secara langsung.
Pemerintah tampaknya berupaya menciptakan keadilan antara pelaku usaha offline dan online. Namun, keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan perlindungan terhadap UMKM digital akan menjadi kunci utama suksesnya kebijakan ini.