JAKARTA: Aksi mengejutkan mewarnai pembukaan Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (3/6/2025). Tiga aktivis Greenpeace Indonesia bersama seorang perempuan Papua membentangkan spanduk protes tepat di tengah sambutan Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno. Spanduk itu menyuarakan kegelisahan terhadap aktivitas pertambangan nikel yang kian masif di Raja Ampat, Papua Barat.
“Selamatkan Raja Ampat! Hentikan Perusakan!” begitu bunyi pesan di spanduk tersebut, menarik perhatian peserta dan awak media yang hadir.
Greenpeace Indonesia menilai, ekspansi tambang nikel yang berlangsung sejak tahun lalu di beberapa pulau Raja Ampat telah menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan dan masyarakat adat. Dalam investigasinya, Greenpeace menemukan bahwa eksploitasi di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah menghanguskan lebih dari 500 hektare hutan tropis dan vegetasi khas Papua.
Tak hanya deforestasi, aktivitas tambang juga menyebabkan limpasan tanah ke laut yang memicu sedimentasi di pesisir, mengancam terumbu karang serta biota laut yang menjadi daya tarik utama Raja Ampat di mata dunia.
Siapa di Balik Tambang Nikel Raja Ampat?
Sorotan publik pun beralih ke siapa saja pemain utama di balik aktivitas tambang tersebut. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di kawasan ini—beberapa di antaranya tercatat bermasalah secara hukum dan lingkungan.
1. PT Gag Nikel
Perusahaan ini memiliki sejarah panjang, beroperasi sejak 1998. Awalnya dimiliki bersama oleh Asia Pacific Nickel Pty Ltd (75%) dan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk (25%), seluruh sahamnya kini telah diakuisisi oleh Antam. Luas wilayah konsesinya mencapai 13.136 hektare. PT Gag Nikel mulai memproduksi nikel secara resmi sejak 2018.
2. PT Anugerah Surya Pratama
Anak perusahaan dari raksasa nikel asal Tiongkok, Wanxiang Group, perusahaan ini dikenal sebagai penanam modal asing (PMA). PT Anugerah Surya Pratama juga tercatat memiliki operasi tambang dan peleburan di Pulau Waigeo dan Manuran. Meski memiliki izin, kehadirannya kerap menuai kritik dari pemerhati lingkungan.
3. PT Mulia Raymond Perkasa
Perusahaan ini mengoperasikan tambang di Pulau Batang Pele. Namun, KLHK menyatakan aktivitasnya tidak disertai dokumen lingkungan dan PPKH. Seluruh operasi eksplorasi telah dihentikan, dan perusahaan kini dalam pengawasan ketat.
4. PT Kawei Sejahtera Mining
Terakhir, PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang seluas lima hektare di luar izin lingkungan dan kawasan hutan. Akibat aktivitas ini, terjadi sedimentasi di pesisir Pulau Kawe. KLHK telah menjatuhkan sanksi administratif dan membuka kemungkinan gugatan perdata.